
Komisi III DPR Angkat Bicara soal Penangkapan Direktur Lokataru, Remote Investigasi Mulai Digeser
suluhnusantara.org – Penangkapan Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen (DMR) pada Senin malam, 1 September 2025, langsung jadi sorotan publik—dan kini masuk dalam perhatian serius anggota Komisi III DPR RI, yang membidangi masalah hukum, HAM, dan keamanan. Mereka mempertanyakan kejelasan prosedur hukum di balik penangkapan yang dianggap penuh kejanggalan.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, secara gamblang menyampaikan bahwa DPR butuh penjelasan resmi: apakah penangkapan ini didasarkan pada pelanggaran nyata pasal KUHP atau UU ITE, atau hanya sekadar diminta keterangan—tanpa prosedur yang jelas dan patuh hukum. DPR dalam hal ini memegang peran penyerap aspirasi masyarakat, termasuk dari organisasi sipil seperti Lokataru.
Sementara itu, Lokataru Foundation secara tegas menyebut tindakan penjemputan langsung oleh penyidik Polda Metro Jaya sebagai tindakan represif yang mengancam kebebasan sipil dan demokrasi. Delpedro dikatakan dijemput paksa tanpa dasar hukum yang transparan. Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran DPR bahwa proses hukum berjalan di luar kerangka hukum yang seharusnya.
Untuk itu, Komisi III DPR telah menyatakan rencana untuk meminta klarifikasi resmi dari Polda Metro Jaya dan Kementerian Hukum & HAM—hingga memastikan hak asasi DMR dilindungi sejauh proses penyidikan. Intinya: DPR akan aktif memantau agar proses penegakan hukum tetap mengedepankan prinsip keadilan dan transparansi hukum.
Kode Etik dan Langkah Komisi III dalam Mengawal Prosedur Hukum
1. Panggilan Resmi ke Kapolda dan Kapolri
Sumber internal Komisi III menyatakan bahwa pihaknya akan memanggil Kapolda Metro Jaya dan Kapolri untuk meminta penjelasan langsung atas dasar hukum penangkapan DMR—apakah sudah sesuai KUHAP dan SOP internal Polri. DPR menyoroti pentingnya kejelasan mengenai status penjemputan paksa tanpa surat perintah dan larangan penghapusan CCTV di kantor.
2. Kolaborasi dengan Komnas HAM dan Ombudsman
Set-Att Komisi III juga mempertimbangkan untuk mengundang Komnas HAM dan Ombudsman guna mendapatkan penilaian iklim hukum serta potensi pelanggaran HAM. Pendekatan ini dianggap vital agar proses hukum tetap berada dalam koridor demokrasi yang menjanjikan keadilan substansial. Lokataru sendiri telah meminta agar lembaga independen turun tangan untuk menjaga kredibilitas proses hukum.
3. Pengawasan Ketat terhadap Seluruh Proses Dinilai Esensial
DPR akan mengawasi jalannya proses hukum terhadap DMR secara berlapis—mulai dari penahanan, hak memperoleh pendampingan hukum, transparansi bukti dan kronologi, hingga kemungkinan banding atau peninjauan kembali di pengadilan. Tujuannya bukan melindungi atau membela siapa saja, tetapi memastikan hukum berjalan adil tanpa intimidasi terhadap aktivis.
Kronologi Penangkapan Delpedro dan Beragam Tuduhan Hukum
Awal Penangkapan: Jemput Paksa Tanpa Prosedur Jelas
Menurut Lokataru, penangkapan DMR terjadi sekitar 22.45 WIB di kediamannya—oleh tim gabungan berpakaian lengkap, namun menggunakan mobil sipil. Beberapa kejanggalan muncul: penangkapan tanpa memperlihatkan surat tugas resmi, tidak adanya pemberitahuan ke keluarga atau kuasa hukum sebelum penangkapan, serta penghapusan rekaman CCTV. Kritik tajam terhadap tindakan itu datang dari aktivis Haris Azhar yang menyebut ini pelanggaran HAM nyata.
Tuduhan Pasal Berlapis: KUHP, ITE, dan Perlindungan Anak
Polda Metro Jaya menetapkan Delpedro sebagai tersangka atas dugaan pasal 160 KUHP (penghasutan), UU ITE Pasal 45A ayat 3 jo 28 ayat 3, serta pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak Pasal 76H jo Pasal 15 jo Pasal 87. Diduga melibatkan ajakan aksi anarkis yang melibatkan pelajar dan anak di bawah umur selama demo dari 25 Agustus. Proses penyidikan telah berjalan sejak tanggal tersebut.
Kritik Lembaga HAM atas Metodenya
Haris Azhar menyanggah prosedur penegakan hukum tersebut, menyatakan bahwa Delpedro tidak diberi hak konstitusional seperti didampingi kuasa hukum, akses komunikasi dengan keluarga, serta tidak ada surat resmi untuk penggeledahan. Akibatnya, proses penegakan hukum justru dianggap menodai prinsip due process.