
Haka di Wellington, Hura‑hura di Senayan: Beda Joget Parlemen NZ & DPR RI
suluhnusantara.org – Politik modern bukan cuma soal kebijakan, tapi juga soal simbol dan budaya pertunjukan—disebut juga dramaturgi politik. Dua momen viral baru-baru ini jadi contoh unik: di Selandia Baru, MP Māori menarikan haka di parlemen sebagai bentuk protes serius. Sementara di Indonesia, anggota DPR tertangkap kamera bergoyang asyik usai membahas tunjangan. Dua tarian, dua pesan—sekilas bikin geleng, tapi sebenarnya fenomena ini ngasih pelajaran tentang simbolisme politik yang beda tipis antara legitimasi dan kontroversi.
Haka di Parlemen Selandia Baru – Simbol Konflik Budaya & Politik
Pada November 2024, tiga anggota parlemen Te Pāti Māori—Hana‑Rāwhiti Maipi‑Clarke, Debbie Ngarewa‑Packer, dan Rawiri Waititi—melakukan haka di dalam ruang sidang DPR Wellington saat menentang Treaty Principles Bill. Tarian yang viral ini memicu penghentian sidang dan menunjukkan solidaritas politik dalam budaya Māori.
Parlemen bereaksi tegas. Mereka dianggap “mengintimidasi” dan penalti historis dijatuhkan: suspensi 7 hari untuk Maipi‑Clarke dan 21 hari untuk dua rekannya—sanksi paling berat sepanjang sejarah legislatif NZ.
Momen ini makin ironis karena hukum itu lahir dari nilai hak rakyat tertindas. Dengan haka, mereka memperkokoh legitimasi moral dan identitas politik, bukan sekadar teatral.
Joget DPR RI – Simbol Keliru Saat Rakyat Bergulat
Berbeda sekali dengan suasana Wellington—di Senayan sering viral vidio anggota DPR menari goyang berjamaah pasca diskusi tunjangan. Alih-alih jadi simbol solidaritas, video ini malah jadi bahan kritik tajam publik karena dianggap sangat tidak sensitif, apalagi di tengah angka kemiskinan tinggi dan kesulitan ekonomi rakyat.
Menurut analisis, joget ini mencerminkan reproduksi jarak sosial: elite memamerkan privilege; rakyat tetap menderita. Kalau haka di NZ memperkuat moralitas politik, joget di Senayan malah melemahkan simbolisme keadilan.
Makna Penekanan Simbolik: Modal Simbolik vs Reproduksi Privilese
Pierre Bourdieu bilang simbol bisa jadi modal sosial—kalau digunakan bijak, bikin legislator makin dipercaya. Haka adalah modal simbolik yang memperkuat legitimasi karena berakar budaya dan solidaritas rakyat.
Sementara joget DPR RI jadi simbol kegagalan tampil sebagai representasi rakyat. Dalam kerangka E.P. Thompson, rakyat menilai elite tidak hanya dari kebijakan, tapi juga moral simbolik mereka—dan joget itu dinilai merusak kepercayaan.(turn0search7)
Even diamnya Wakil Presiden Gibran selama joget juga jadi simbol strategi—bukan tanda empati, tapi image distancing semata. Itu interpretasi lewat lensa politics of symbol—diam memancing tafsir publik.
Dua Tarian, Dua Bentuk Demokrasi Visual
Haka bukan untuk show, tapi simbol perlawanan—penuh makna identitas dan politik moral. Sementara joget di Senayan dianggap show kosong—tanpa empati sosial dan malah menambah jarak antara elite dan rakyat.
Kalau Selandia Baru pakai pertunjukan untuk memperkuat keadilan dan hak asli, Indonesia malah sering pakai simbol untuk mempertegas privilege. Itu masalahnya: simbol bisa menyatukan atau memecah—tergantung makna yang dibawa.
Penutup – Simbol Politik, Etika dan Harapan Demokrasi
Tarian di parlemen bukan sekadar hiburan—itu simbol politik. Haka menghubungkan legislator dengan akar budaya dan perlawanan moral, sedangkan joget DPR malah menciptakan jurang simbolik antara wakil dan masyarakat.
Harapannya, politisi Indonesia belajar: gunakan panggung politik sebagai jembatan, bukan sekat. Ketika simbol dibangun lewat diskrusi dan empati, demokrasi bisa hidup lebih bermakna. Jangan sampai simbol politik jadi tirai yang memisahkan—biarlah jadi kereta yang membawa rakyat bersama.