
Latar Belakang Gugatan dan Nilai Fantastisnya
suluhnusantara.org – Kasus ini dimulai dari sebuah gugatan perdata yang cukup bikin heboh publik. Seorang warga sipil bernama Subhan menggugat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan KPU dengan tuntutan ganti rugi bukan main—Rp125 triliun!
Gugatan itu telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst pada tanggal 29 Agustus 2025. Sidang perdana sudah dijadwalkan pada Senin, 8 September 2025.
Menurut Subhan, alurnya sederhana, tapi serius: Gibran disebut tidak memenuhi syarat pendidikan yang tercantum dalam Pasal 169 Undang‑undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, karena menurutnya Gibran tidak punya ijazah SMA atau sederajat berdasarkan hukum Indonesia.
Detail Gugatan—Apa Alasan Utamanya?
Subhan menuduh Gibran telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena dianggap tidak memenuhi persyaratan formal sebagai calon wakil presiden. Hal ini mencakup syarat minimal tamatan SMA atau sederajat.
Riwayat pendidikan Gibran menurut data KPU adalah sebagai berikut: Ia menempuh pendidikan SMP di Surakarta, lalu melanjutkan ke luar negeri—yaitu Orchid Park Secondary School di Singapura (2002–2004) dan UTS Insearch di Australia (2004–2007)—yang dianggap bukan setara ijazah SMA di mata hukum RI.
Angka tuntutan ganti rugi yang tertera cukup simbolis: Rp125 triliun, yang diklaim sebagai kompensasi materiil dan immateriil yang kemudian harus ditransfer ke kas negara, bukan untuk pribadi penggugat.
Aspek Hukum dan Prosedur Setara Ijazah Luar Negeri
Menurut hukum di Indonesia, ijazah luar negeri memang nggak otomatis diakui sama seperti ijazah lokal. Perlu adanya proses penyetaraan yang biasanya dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Namun dalam gugatan ini, Subhan tidak meyakini bahwa prosedur tersebut telah terpenuhi.
Persoalan ini jadi mendasar karena secara hukum, seseorang yang tidak memiliki ijazah SMA yang diakui oleh negara bisa dianggap tidak memenuhi syarat administrasi dalam pilpres atau cawapres. Subhan menegaskan bahwa ini bukan soal fitnah, tapi soal menjaga marwah konstitusi dan demokrasi.
Sementara, sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari Wapres Gibran maupun KPU soal gugatan ini. Publik masih menunggu perkembangan dari jalannya proses peradilan.
Tuntutan Tambahan – Uang Paksa Jika Lalai
Lebih dramatis lagi, Subhan juga melampirkan dwangsom atau tuntutan uang paksa sebesar Rp10 juta per hari jika keputusan pengadilan tidak dijalankan tepat waktu oleh para tergugat.
Hal ini memberi tekanan lebih ke pihak tergugat agar mengikuti putusan pengadilan dengan cepat, tanpa mengulur waktu melalui banding atau kasasi. Artinya, ketaatan pada hukum jadi poin utama dalam gugatan ini.
Respons Publik: Antisipasi Sensasi & Sorotan Media
Gugatan ini langsung jadi sorotan netizen dan media. Banyak yang heran sekaligus penasaran mengapa nomor fantastis seperti Rp125 triliun muncul secara mendadak—apalagi diberikan ke negara, bukan ke penggugat.
Beberapa pihak menilai ini bisa menjadi ujian serius terhadap sistem hukum dan ketahanan demokrasi, terutama soal syarat administratif bagi calon pemimpin negara. Gugatan ini juga jadi pengingat bahwa hal kecil seperti ijazah bisa punya dampak besar bila diperdebatkan secara hukum.
(Penutup): Apa Maknanya Bagi Masa Depan Politik dan Hukum?
Kasus ini belum pernah terjadi sebelumnya—ada Wapres yang digugat perdata oleh warga biasa dengan tuntutan spektakuler. Ini jadi momentum penting bagi publik untuk memahami bagaimana hukum, persyaratan politik, dan administrasi pendidikan saling berpotongan.
Apa pun hasilnya, gugatan ini akan menyentuh tiga hal utama: sah atau tidaknya status Wapres, validasi prosedur ijazah luar negeri, dan batas kewenanqan penggugat sipil atas pejabat negara.